Jakarta, (Analisa). Untuk merancang dan mengawal berbagai program serta proyek berskala nasional, Indonesia masih memerlukan banyak arsitek teknologi informasi (TI).
Menurut Presiden International Association of Sofware Architecs (IASA) Indonesia, ProfRichardus Eko Indrajit dalam penjelasan kegiatan “Business IT Architecture Summit 2011", Minggu (4/12) di Jakarta mengatakan, Indonesia memiliki program atau proyek berskala nasional dengan tingkat tantangan dan kompleksitas yang tinggi. “Untuk menyukseskannya, diperlukan individu-individu yang tidak saja kompeten di bidangnya, namun juga memiliki pengalaman dalam pembangunan dan pengembangan sistim yang cukup tinggi,” katanya. Pada kesempatan yang sama Presiden IASA Asia Pacific Aaron Dani menekankan aspek faktor “human dynamics” atau dinamika manusia paling banyak berpengaruh terhadap jalannya sebuah proyek.
“Sedangkan kunci keberhasilan mengelola dinamika manusia adalah kemampuan seorang arsitek dalam memimpin, berkomunikasi, serta berkreasi dalam mengatasi berbagai tantangan proyek yang ada di luar pengetahuannya mengenai spektrum masalah teknologi informasi," ujar Aaron.
Arsitek di bidang teknologi informasi merupakan sebuah profesi baru di Indonesia yang cukupmenjajikan, bagaimana tidak di Amerika Serikat saja menurut Eko Indrajit untuk satu proyekseorang Arsitek TI dapat meraih fee sebesar Rp 1,3 miliar setahun, sedang jika satu tahun bisamemiliki dua atau tiga proyek, tentunya sudah bias dibayangkan akan berapa besar fee yang diraih.
Sementara menurut data Gartner Group lebih dari 70 persen proyek teknologi informasi dikatakan gagal, karena tidak berhasil men-deliver ruang lingkup dalam waktu yang cepat, biaya yang sesuai serta kualitas yang diinginkan.
Sehingga seorang manajer proyek harus mampu “mentransformasikan” dirinya menjadi arsitek yang tinggi. Masih menurut data Gartner, kerugian akibat kegagalan TI dalam bisnis mencapai 33 miliar dolar AS tahun ini.
0 komentar:
Posting Komentar